
Xiomara Castro mengancam untuk menghapus keberadaan pangkalan militer AS di Honduras sebagai respon terhadap rencana Donald Trump
Presiden Honduras mengancam untuk menarik keberadaan militer Amerika Serikat dari pangkalan mereka jika deportasi massal warga Honduras benar-benar terjadi.
Honduras dan Sikap Tegas terhadap Ancaman Deportasi
TEGUCIGALPA – Ketegangan antara Honduras dan Amerika Serikat meruncing setelah Presiden Honduras, Xiomara Castro, mengirimkan sinyal tegas terkait kebijakan imigrasi yang direncanakan oleh pemerintahan AS. Castro menyebut Honduras siap mengambil langkah berani dengan memaksa militer Amerika Serikat hengkang dari pangkalan militer utama di negara itu jika deportasi massal warga Honduras dijalankan.
“Kami tidak akan diam jika tindakan itu melukai rakyat kami. Honduras memiliki kedaulatan, dan kami berhak menentukan kerja sama dengan pihak asing mana pun,” tegas Castro dalam pidatonya di Istana Kepresidenan, Sabtu (waktu setempat). Pernyataan tersebut merujuk pada kemungkinan dideportasinya ribuan warga Honduras tanpa proses yang adil dan manusiawi.
Ancaman yang Mengguncang Aliansi Sepanjang Dekade
Pangkalan militer Palmerola, atau yang lebih dikenal sebagai Soto Cano Air Base, telah menjadi pusat strategis bagi militer AS di Amerika Tengah selama puluhan tahun. Lokasi tersebut memainkan peran besar dalam operasi regional, termasuk bantuan kemanusiaan, pelatihan militer, serta pengawasan anti-narkotika.
Namun, ancaman Castro bisa mengubah situasi. Jika militer AS benar-benar dipaksa keluar, ini akan menjadi pukulan besar bagi kemitraan keamanan antara kedua negara. Bahkan pengamat internasional mulai mempertanyakan dampaknya terhadap stabilitas geopolitik di kawasan ini.
Profesor Alejandro Mejia, seorang pakar hubungan internasional di Universitas Tegucigalpa, menilai langkah ini sebagai ancaman diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Keberadaan AS selama ini dianggap menguntungkan pihak Honduras. Tapi ancaman ini menunjukkan bahwa Presiden Castro lebih mengedepankan martabat negaranya dibandingkan kepentingan jangka pendek keamanan regional,” ujar Mejia kepada media lokal.
AS Berada di Persimpangan Kebijakan
Sementara itu, Gedung Putih terlihat berhati-hati dalam merespons pernyataan tersebut. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, John Kirby, hanya menyebut bahwa Washington masih ingin melanjutkan kerja sama erat dengan Honduras, khususnya dalam menangani isu migrasi dan keamanan.
“Kami percaya pada dialog untuk memecahkan masalah-masalah seperti ini. Namun, kami juga meminta Honduras memahami situasi kompleks yang kami hadapi di perbatasan,” kata Kirby dalam konferensi pers.
Di sisi lain, aktivis HAM di AS mengecam kebijakan deportasi massal yang dianggap tidak adil bagi pendatang dari Amerika Tengah. “Orang-orang yang datang ke Amerika Serikat sering melarikan diri dari kemiskinan dan kekerasan di kampung halaman mereka. Tindakan keras hanya akan memperburuk kondisi warga rentan,” ujar Maria Espinosa, Direktur Pusat Hak Imigran Internasional di Washington, DC.
Latar Belakang Tensi Imigrasi
Ketegangan ini berakar pada kebijakan migrasi yang kerap diperketat selama beberapa tahun terakhir. Honduras sendiri merupakan salah satu negara asal terbesar bagi para migran yang mencoba menembus perbatasan AS, kebanyakan demi mencari kehidupan yang lebih layak. Namun, banyak dari mereka berakhir sebagai imigran ilegal yang tidak memiliki akses terhadap hak-hak dasar.
Dengan ancaman dari Presiden Castro, beberapa pihak di Honduras melihat ini sebagai langkah strategis untuk menekan pemerintahan AS agar lebih memperhatikan kondisi para migran. Sedangkan, di mata pengamat internasional, kejadian ini mencerminkan dinamika hubungan bilateral yang semakin memanas antara dua negara yang sejatinya saling membutuhkan.
