Teori Konspirasi tentang Gejolak Korea Selatan Semakin Liar di Media Sosial

Keresahan Meningkat di Korea Selatan, Teori Konspirasi Menyebar Lewat Media Sosial

SEOUL – Gelombang keresahan yang tak terduga melanda Korea Selatan setelah berbagai teori konspirasi tentang stabilitas sosial dan politik negara ini menyebar dengan cepat melalui media sosial. Fenomena ini memercikkan kekhawatiran tentang bagaimana platform digital digunakan untuk menyampaikan informasi yang belum tentu akurat.

Berbagai unggahan yang tak terverifikasi memenuhi lini masa media sosial, menyulut polarisasi dan kecemasan di masyarakat. Salah satu teori populer mengklaim adanya “agenda tersembunyi” pemerintah terkait reformasi kebijakan tertentu. Meski pemerintah telah berkali-kali menyangkal klaim tersebut, narasi yang bebas meluas ini tetap menarik perhatian publik.

“Kami ada di era di mana berita palsu atau teori konspirasi menyebar lebih cepat dibandingkan fakta. Sayangnya, platform digital menjadi pisau bermata dua, yang bisa mendistribusikan informasi, tetapi juga menyulut misinformasi,” ungkap Profesor Lee Hye-jin, seorang pakar komunikasi digital dari Universitas Yonsei, Seoul.

Pola Baru: Media Sosial Sebagai “Pemberontak Modern”

Di lapangan, berbagai kelompok diskusi daring muncul di layanan seperti Twitter, Facebook, dan aplikasi lokal populer, KakaoTalk. Mereka mendebat berbagai isu terkini, tetapi kerap kali hanya berdasarkan potongan informasi tanpa konteks penuh. Tak sedikit unggahan mencatut “bukti-bukti” palsu atau gambar dan video yang telah dimanipulasi.

“Kami melihat lonjakan unggahan dengan narasi negatif, terutama pada periode tertentu, seperti menjelang pemilu atau saat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontroversial,” ujar seorang analis yang bekerja di Divisi Pemantauan Siber Polisi Nasional Korea (KNPA). Menurutnya, pola ini memperlihatkan bagaimana kelompok tertentu bisa sengaja “mengerek” isu tertentu untuk mengarahkan opini publik.

Sebagai contoh, sebuah rumor yang mengaitkan pemerintah dengan “rencana rahasia global” sempat menjadi trending topic beberapa minggu lalu. Rumor tersebut, yang sebenarnya tidak memiliki dasar valid, mendorong warganet untuk membentuk petisi daring mendesak penyelidikan lebih lanjut. Petisi itu bahkan berhasil meraih ribuan tanda tangan dalam waktu kurang dari 24 jam.

Peran Pemerintah dan Langkah Penanganan

Melihat situasi ini, pemerintah Korea Selatan telah mengambil langkah untuk meredam penyebaran informasi palsu di dunia maya. Salah satunya adalah dengan memperketat Kebijakan Informasi Cyber Nasional, yang memungkinkan otoritas untuk lebih cepat menanggapi konten-konten yang menyesatkan.

“Kami tidak bermaksud membatasi kebebasan berekspresi, tetapi ada batas dan tanggung jawab saat membagikan informasi,” tegas Menteri Komunikasi Korea Selatan, Kim Sang-min, dalam konferensi pers di Seoul, pekan lalu. Dia juga menyerukan agar masyarakat lebih kritis dalam menyaring informasi.

Selain itu, pemerintah juga sedang bekerja sama dengan platform teknologi besar untuk memperbaiki algoritma yang kerap kali mempromosikan konten kontroversial atau menyebarkan disinformasi dengan mudah.

Ahli: “Pendidikan Literasi Digital Sangat Mendesak”

Di tengah derasnya berita palsu, para ahli menekankan pentingnya literasi digital bagi masyarakat modern. Menurut Profesor Cho Eun-kyung dari Seoul National University, edukasi bagaimana mendeteksi berita palsu atau informasi manipulatif harus segera dimasukkan ke dalam sistem pendidikan formal.

“Ini bukan hanya persoalan teknologi atau media sosial semata, tetapi bagaimana masyarakat bergerak menuju budaya informasi yang sehat. Jika kita tidak mengajarkan warganet untuk berpikir kritis, maka apa pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan sulit mengatasi masalah ini,” tandasnya.

Melalui pembelajaran literasi digital berbasis masyarakat, diharapkan warga Korea Selatan mampu bertahan dari badai “infodemik” yang kerap kali mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, serta menjaga stabilitas sosial dan politik di dunia maya.

Shares: