strategi baru kelompok islamic state dalam mencuci otak dan merekrut pengikut di era sekarang

seorang pria yang berjanji setia pada kelompok teroris melakukan serangan mematikan di new orleans saat tahun baru

Kalau ada permintaan untuk berita serupa yang dirilis dalam gaya situs seperti detik.com, berikut adalah penulisan ulang topik Anda dengan gaya redaksional yang profesional dan alami:

Pola Baru Radikalisasi Ala ISIS: Dunia Digital Jadi Lahan Subur

Jakarta – Pola Rekrutmen yang Berubah Seiring Zaman

Perubahan zaman membawa perubahan strategi. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok teroris ISIS telah memanfaatkan teknologi digital untuk menggaet pengikut baru. Tak lagi mengandalkan pertemuan fisik, mereka kini bermain di dunia maya, menghadirkan propaganda yang terstruktur, rapi, dan tentunya sangat persuasif.

Lewat media sosial, aplikasi pesan instan, bahkan forum-forum daring yang terkesan “biasa saja”, ISIS menciptakan ruang yang aman bagi mereka yang ingin menyelami ideologi radikal. Mereka tidak hanya menargetkan individu dengan latar belakang tertentu, tapi juga secara acak menjaring orang-orang yang terjebak dalam rasa kesepian atau kehilangan arah hidup.

“Kami melihat adanya perubahan signifikan dalam cara propaganda ini dilakukan. Digitalisasi menjadi senjata utama untuk menanamkan ideologi radikal. Hal ini bahkan lebih berbahaya karena sulit untuk dilacak sepenuhnya,” ungkap Anisa Rahman, seorang peneliti terorisme dari Universitas Indonesia.

Strategi Propaganda: Narasi Korban dan Fantasi Kekhalifahan

Radikalisasi lewat dunia maya ini kerap dimulai dengan narasi empati. ISIS kerap menggunakan isu-isu yang tengah menjadi perhatian global—seperti konflik kemanusiaan, ketidakadilan sosial, hingga Islamofobia—sebagai pintu masuk untuk mendekati calon korban.

Mereka kemudian menyisipkan janji-janji “perbaikan dunia” melalui gagasan kekhalifahan versi mereka. Bagi sebagian orang yang merasa terpinggirkan, narasi ini sering kali menjadi magnet kuat. Tak sedikit yang kemudian tergiur oleh gagasan heroik semu yang dijanjikan oleh ISIS.

“Di masa ketidakpastian global seperti saat ini, banyak orang memilih untuk mencari identitas baru, termasuk melalui agama. ISIS mengeksploitasi hal ini dengan menyampaikan narasi seolah-olah mereka adalah pelindung umat,” tambah Anisa.

Perekrutan Lewat Platform Populer

Kita mungkin menganggap Twitter, YouTube, atau WhatsApp sebagai platform untuk bersosialisasi, tapi bagi kelompok seperti ISIS, semua itu adalah alat perekrutan. Lewat video propagandis yang dikemas secara sinematik hingga diskusi personal secara intensif, mereka perlahan-lahan menumbuhkan rasa percaya di hati calon simpatisan mereka.

Bahkan, laporan dari Institute for Strategic Dialogue (ISD) mengungkap bahwa grup privasi di Telegram dan aplikasi serupa menjadi sarana favorit ekstremis untuk mendiskusikan rencana dan menyampaikan doktrin mereka tanpa mudah terlacak oleh pihak berwenang.

“Platform ini memberi mereka akses langsung ke jutaan pengguna di seluruh dunia. Hal ini memungkinkan mereka untuk menargetkan individu tanpa keterbatasan geografis,” jelas Farid Ali, analis kebijakan keamanan digital dari sebuah lembaga think-tank internasional.

Upaya Penanggulangan yang Tak Kalah Canggih

Meski radikalisasi digital terus berkembang, otoritas global tak tinggal diam. Pemerintah bersama perusahaan teknologi besar mulai memblokir akun dan konten yang dianggap berbahaya. Di Indonesia sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara aktif meluncurkan program literasi digital dengan tujuan membekali masyarakat agar lebih kritis terhadap konten-konten radikal.

“Salah satu kunci utama mencegah radikalisasi adalah edukasi. Kita harus memperkuat kesadaran masyarakat tentang bahaya konten radikal sekaligus mengajarkan bagaimana cara mengenali tanda-tandanya,” ujar Boy Rafli Amar, Kepala BNPT, saat diwawancarai terkait langkah mitigasi bahaya propaganda digital.

Namun sayangnya, upaya ini ibarat permainan kucing dan tikus. Kelompok teroris selalu mencari celah baru, sementara pihak keamanan berkejaran untuk menutup akses mereka. Tantangan terbesar tampaknya terletak pada kemampuan adaptasi masing-masing pihak dalam perang siber yang terus berlangsung ini.

Shares: