Pengusaha hiburan mengeluh karena beban pajak yang tinggi dan rencana penerapan kawasan tanpa rokok yang baru

Jakarta – Para pelaku usaha hiburan malam di ibu kota tengah menghadapi tekanan berat dari dua sisi sekaligus: pajak tinggi dan rencana penerapan kawasan tanpa rokok (KTR). Kenaikan tarif pajak hiburan yang sudah mencapai 40% dan ancaman naik hingga 75%, ditambah pemberlakuan aturan KTR, dinilai bisa mematikan geliat bisnis yang selama ini sudah sangat terpuruk.

Pengusaha Hiburan Merasa Tercekik oleh Pajak dan Aturan Baru

Jakarta – Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) mengungkapkan kegelisahan mendalam atas beban pajak hiburan di Jakarta yang dianggap sangat memberatkan pelaku usaha. Ketua Umum Asphija, Hana Suryani, menyatakan bahwa tarif pajak saat ini yakni 40% sudah sangat tinggi dan berpotensi membengkak sampai 75% jika rencana kenaikan benar-benar diterapkan.

“Artinya kita ini sudah lagi mau mati, sudah mau mati. Sudah bukan loyo lagi nih, nafas saya udah di tenggorokan, ditambah lagi ada kebijakan ini, saya sudah lemas, sudah pasrah,” ungkap Hana saat dihubungi, Selasa (24/6/2025).

Pendapatan dari industri hiburan malam memang terus menyusut sejak pajak dinaikkan menjadi 25% pada 2020, bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda. Pandemi tersebut pun menjadi pukulan telak, menyebabkan banyak usaha tutup dan tidak beroperasi selama berbulan-bulan.

“Apalagi terakhir tuh pandemi udah lah, udah mati lah kita semua, karena kan emang total tutup kan. Nah pas buka-buka lagi, 2024 awal di Februari Pajak sudah 40%, mati ini,” tambahnya.

Kritik dan Harapan terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Meski Hana pribadi bukan perokok dan mendukung ide kawasan tanpa rokok di ruang publik, dirinya menyayangkan jika aturan tersebut diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi khusus di sektor hiburan malam.

“Nah kalau masuk ke dalam area hiburan, itu tempat kita yang bayar. Menurut saya, pemerintah seharusnya memberikan pendampingan serta menetapkan batasan-batasan tertentu, misalnya dengan menyediakan ruang khusus untuk merokok dan non-merokok, serta mendukungnya dengan fasilitas seperti exhaust atau air purifier,” ujarnya.

Selain itu, Hana menegaskan bahwa akses ke tempat hiburan hanya diperbolehkan bagi mereka yang berusia minimal 21 tahun. Di dalam ruangan seperti karaoke, pengunjung biasanya sudah bersepakat mengenai aturan rokok yang diterapkan.

“Jadi artinya tidak ada yang dirugikan kalau semuanya bersepakat gitu loh. Lain halnya, kalau misalnya ada ruangan yang non-smoking, yaudah berarti non-smoking itu steril,” jelasnya.

Shares: