Jin Xing, penari transgender yang sukses menembus dunia hiburan China, jadi inspirasi di tengah tantangan hidup terbuka bagi komunitas LGBTQ+ di sana
Seorang Penari Transgender Terkenal Alami Pembatalan Tampil, Diduga Ada Tekanan di China
Shanghai: Penampilan Dibatalkan Secara Mendadak
Shanghai — Seorang penari transgender terkenal asal China, yang kerap memukau mata dunia dengan tarian anggunnya, kini menghadapi pembatalan sejumlah pertunjukan selama beberapa pekan terakhir, memicu spekulasi bahwa ini hanyalah bagian dari tindakan lebih luas terhadap komunitas LGBTQ+ di negara tersebut. Para penggemar dan aktivis hak asasi manusia khawatir bahwa ini menandakan tekanan yang semakin ketat terhadap kebebasan berekspresi dan identitas gender.
Penari yang identitasnya dirahasiakan demi alasan keamanan dikabarkan telah menerima pemberitahuan pembatalan ini hanya beberapa hari sebelum pertunjukan dijadwalkan berlangsung. “Kami sangat kecewa dengan keputusan ini,” ungkap seorang sumber yang dekat dengan sang penari. “Kami merasa ini bukan sekadar masalah administratif, tapi lebih kepada tekanan politik.”
Isu Lain: Sensitivitas terhadap Komunitas LGBTQ+
Berdasarkan laporan dari berbagai kelompok aktivis, pembatalan ini diduga berkaitan dengan makin meningkatnya sensor terhadap acara-acara yang dianggap “tidak sejalan” dengan nilai-nilai tradisional di China. Kala ditanya oleh wartawan, seorang pengamat budaya di Beijing, Zhang Wei, menilai bahwa keputusan ini mungkin merefleksikan garis kebijakan baru dari pemerintah.
“Penampilan seni memiliki kekuatan untuk menyuarakan keragaman, namun di negara seperti China, kebebasan itu sering kali diintervensi,” ujar Zhang Wei. “Komunitas LGBTQ+ di sini sebenarnya sudah mengalami berbagai bentuk diskriminasi selama bertahun-tahun, dan insiden ini hanya menambah beban mereka.”
Reaksi Penggemar dan Media Sosial
Reaksi keras pun muncul di media sosial China, meski harus bersaing dengan algoritma sensor yang amat ketat. Di platform populer seperti Weibo, beberapa pengguna menulis pesan dukungan bagi sang penari, sementara lainnya menyentil keputusan pembatalan ini sebagai “langkah mundur bagi seni dan kemanusiaan.”
“Bagi banyak dari kami, mereka bukan hanya penari. Mereka adalah simbol keberanian,” tulis seorang pengguna yang menggunakan nama samaran karena khawatir terkena dampak hukum. “China membutuhkan lebih banyak suara seperti mereka, bukan lebih banyak tekanan.”
Namun, pesan-pesan ini tidak bertahan lama sebelum dihapus oleh moderator platform. Di tengah kekhawatiran atas pengawasan pemerintah, suara-suara dukungan terhadap komunitas LGBTQ+ di China semakin sulit terdengar.
Konteks Lebih Luas tentang Tindakan Pengetatan
Sejumlah pengamat menilai bahwa ini adalah bagian dari tren yang lebih besar dalam beberapa tahun terakhir, di mana otoritas China secara bertahap memperketat pandangannya terhadap tema-tema yang dianggap “kontroversial.” Pandangan seperti ini tidak hanya memengaruhi isu LGBTQ+, tapi juga berbagai bentuk kreativitas seni lainnya.
Menurut laporan Amnesty International, tekanan terhadap komunitas LGBTQ+ di China termasuk dalam lingkup pelarangan acara publik, pembatasan debat akademik, hingga penghapusan karakter LGBTQ+ dalam media populer. Kelompok hak asasi manusia di luar negeri mendesak pemerintah China untuk memberikan lebih banyak kebebasan dan menghormati keberagaman demi kebaikan masyarakat global.
“Bila kebijakan ini terus berlanjut, kita akan kehilangan begitu banyak talenta berbakat,” kata Denny Wang, seorang aktivis LGBTQ+ dari Hong Kong. “Seni adalah bahasa universal, dan tidak ada tempat untuk diskriminasi dalam bahasa itu.”